MAKALAH TIME VALUE OF MONEY - MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH
“TIME VALUE OF MONEY VERSUS ECONOMI VALUE OF TIME DALAM KEUANGAN
ISLAM”
KELOMPOK 4:
EMA NURWAHYUNI :
1501150072
EMA PURWANTI :
1501150073
FADMY :
1501150074
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN
EKONOMI SYARIAH
2017
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah. Semoga shalawat dan salam selalu
tercurahkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad saw. Kami dapat menyusun
dan menyelesaikan makalah Manajemen Keuangan Islam yang membahas tentang “Time
Value Of Money Versus Economi Value Of Time Dalam Keuangan Syariah”.
Kami berharap
dengan dibuatnya makalah ini dapat berguna bagi kita semua. Selain itu kami
juga berharap makalah ini dapat menambah wawasan pembaca terhadap ilmu
Manajemen Keuangan Islam tentang Time Value Of Money Versus Economi Value Of
Time Dalam Keuangan Syariah.
Kami sadar
sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah yang akan datang.
Banjarmasin, 17 Maret 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………… i
Daftar Isi……………………………………………………………. ii
BAB I Pendahuluan…………………………………………………. 1
A.
Latar
Belakang………………………………………….. 1
B.
Rumusan
Masalah……………………………………… .. 1
BAB II Pembahasan………………………………………………… 2
A.
Konsep Time Value Of Money……………………….. 2
B.
Kritik Konsep Time Value Of Money………………... 5
C.
Konsep Economic Value Of Time……………………. 7
D.
Economic
Value Of Time dan Teori Akad dalam
Islam…………………………………………………… 9
BAB III Penutup……………………………………………………. 12
Daftar Pustaka……………………………………………………… . 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berkenaan
dengan masalah uang, sistem ekonomi yang berlaku memiliki pandangan yang
berbeda. Perbedaan utama antara ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam yaitu
dari segi filosofinya, mengenai pandangan terhadap waktu dan uang. Ekonomi
konvensional mengenal konsep time value of money yaitu berpandangan
bahwa nilai uang yang dimiliki saat ini lebih berharga dibandingkan dengan
nilai uang dimasa yang akan datang. Sedangkan dalam Islam hanya mengenal konsep
economic value of time, yaitu konsep yang menyatakan bahwa waktulah yang
memiliki nilai ekonomi, bukan uang yang memiliki nilai waktu.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
konsep time value of money?
2.
Apakah
kritik terhadap konsep time value of money?
3.
Bagaimana
konsep economic value of time?
4.
Apakah
economic value of time dan teori akad dalam islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep
Time Value Of Money
Uang menjadi berguna
hanya jika ditukar dengan benda yang nyata atau jika digunakan untuk membeli
jasa. Berkenaan dengan uang, bahwasanya dalam ekonomi konvensional timbul
pemikiran nilai uang menurut waktu (time
value of money). Time value of money
merupakan nilai uang yang bertambah karena perjalanan waktu, bukan didasarkan pada aktivitas ekonomi
apa yang dilakukan.
Time value of money dilatar belakangi
oleh adanya anggapan hilangnya pemilik modal akan biaya kesempatan (opportunity cost), pada saat ia
meminjamkan uang kepada pihak lain. Sehingga pemilik modal membebankan nilai
persentase tertentu sebagai kompensasinya.
Peran nilai waktu dari uang, di mana nilai uang sangat dipengaruhi
oleh waktu. Nilai waktu dari uang merupakan suatu pertimbangan yang kritikal
dalam keputusan keuangan (Finansial) dan investasi. Sebagai contoh,
umpamanya bunga majemuk (compoud interest) diperlukan untuk menentukan
jumlah uang yang akan datang sebagai akibat dari suatu investasi.[1]
Selain itu Time value of money pada dasarnya
merupakan intervensi konsep biologi dalam bidang ekonomi. Konsep Time value of money muncul karena adanya
anggapan uang disamakan dengan barang yang hidup (sel hidup). Sel yang hidup, untuk
satuan waktu tertentu dapat menjadi lebih besar dan berkembang.[2]
Uang bukanlah
sesuatu yang hidup dan berkembang dengan sendirinya. Implikasi dari ini semua
dalam dunia bisnis selalu diharapkan pada untung dan rugi. Keuntungan dan
kerugian tidak dapat dipastikan untuk masa yang akan datang. Keuntungan yang
diperoleh dalam bisnis tidak hanya keuntungan didunia, namun yang dicari adalah
keuntungan akhirat juga. Teori keuangan konvensional yang telah mendasarkan
argument bunganya dengan konsep Time
value of money. Konsep ini kemudian ditolak oleh para ekonomi Islam dengan
alasan economic value of time.
Hakikat waktu itu sama, yaitu 24 jam sehari. Faktor yang menentukkan nilai
waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan waktu itu. Sehingga karenanya,
siapapun pelakunya tanpa memandang suku, agama, dan ras secara sunnatullah, ia
akan mendapatkan keuntungan dunia. Dalam islam selain waktu diisi dengan
efektif (tepat guna) dan efesien (tepat cara), ia juga didasari dengan keimanan.
Dalam ekonomi
konvensional, Time value of money
didefinisikan sebagai: a dollar today is
worth more than a dollar in the future because
dollar today can be invested to get a return. Ada dua alasan yang
mendasari konsep Time value of money
yakni: presence of inflation (adanya
inflasi), dan preference present
consumptionto future cosumtion (komsumsi hari ini lebih disukai daripada
konsumen pada waktu akan datang). Kedua istilah tersebut dikenal juga dengan
istilah teori bunga abstinence (penundaan
konsumsi) dan time preference theory
(saat ini lebih berharga dari masa akan datang).[3]
Argument ada inflasi
tidak dapat diterima karenaa tidak lengkap kondisinya (non exhausted condition). Dalam setiap perekonomian selalu ada
keadaan inflasi dan deflasi. Bila keadaan inflasi dijadikan alasan Time value of money, seharusnya keadaan
deflasi menjadi alasan adanya negative
Time value of money. Sedangkan time
preference theory ditolak dalam ekonomi syariat karena bertentangan dengan
prinsip al-ghunmu bi la ghurmi dan al-kharaj bi la dhaman. Teori ini
ditolak juga oleh teori finance.
Apabila inflasi
dijadikan alasan sebagai akibat adanya Time
value of money dalam system ekonomi atau keuangan. Inflasi yang diartikan
naiknya harga dalam waktu tertentu tidak semata-mata diakibatkan oleh bunga
(sebagai kompensasi opportunitycost),
inflasi dapat terjadi karena produsen mengambil keuntungan semakin meningkat,
disamping itu diakibatkan oleh factor-faktor lain. Penentuan suku bunga sebagai
faktor penentu inflasi adalah suatu tindakan menyerdehanakan masalah atau
konsep. Tindakan ini menguntungkan sebelah pihak, tidak mau rugi (return and risk) konsekuensi ini harus
ditanggung bersama pihak-pihak yang bersinggungan (transaksi).
Kredit konvensional
yang terdapat Time value of money,
karena adanya opportunity cost yang
hilang dan kemudian dikompensasi dengan nilai persentase tertentu atas pokok
pinjaman (jual beli kredit). Alasan mengenai ketidak pastian return dalam usaha. Dalam ekonomi
konvensional, penerapan Time value of
money tidak senaif yang dibayangkan misalnya dengan mengabaikan
ketidakpastian return yang akan
diterima. Bila kompensasinya sebagai discount
rate. Sehingga discount rate
lebih bersifat umum.
Sebab dalam ekonomi
islam, penggunaan sejenis discount rate
dalam menentukan harga mu’ajjal dapat
dibenarkan. Hal ini karenakan : pertama,
jual beli dan sewa menyewa adalah sektor riil yang menimbulkan economic value added (nilai tambah
ekonomis). Kedua, tertahannya hak si
penjual (uang pembayaran) yang telah melaksanakan kewajibannya (menyerahkan
barang atau jasa), sehingga ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada
pihak lain.[4]
Selain itu, ada beberapa asumsi dan
kejadian yang dapat dijadikan rujukan analisisnya, yaitu: (1) harga yang
dibayar tangguh dapat lebih besar dari pada harga yang dibayar sekarang, (2) not due to inflation nor interest foregone,
(3) adanya penahanan hak si pemilik barang, asumsi ini merujuk pada apa yang
pernah dilakukan oleh Zaid Ibnu Ali Zainal Abidin Ibnu Husen Ibnu Abi Thalib.
Uang dengan sendirinya tidak memiliki
nilai waktu. Namun waktulah yang memiliki niali ekonomi. Dengan catatan bahwa
waktu tersebut memang dimanfaatkan secara baik. Dengan adanya nilai waktu
tersebut, maka kemudian dapat diukur dengan istilah atau batasan-batasan
ekonomi. Sehubungan dengan tertahannya hak pemilik barang dalam transaksi
ekonomi, yang berkaitan dengan nilai waktu. Hal ini diilustrasikan sebagai
berikut: apabila suatu barang dijual dengan tunai untung sebesar Rp500, maka
penjual dapat membeli barang lain dengan menjual barang beliannya tersebut.
Dengan demikian, keuntungan penjual tersebut (dimungkinkan) dapat berlipat.
Namun apabila dijual dengan tangguh bayar; maka hak penjual bertahan dan tidak
dapat membeli barang lain. Sebagai kompensasi atas “tertahannya” hak penjual
dan pembeli, maka istilah memberikan (mensahkan) harga tangguh lebih tinggi
dari harga tunai. Dalam ekonomi konvensional, ketidakpastian return dikonversi menjadi suatu
kepastian melalui premium for
uncertainty. Dalam setiap investasi tentu selalu ada probabilitas untuk
mendapat positive return, negative return, dan no return. Adanya
probabilitas inilah yang menimbulkan ketidakpastian.[5]
B. Kritik
Konsep Time Value Of Money
Dalam ekonomi
konvensional Time value of money
didefinisikan sebagai “a dollar is worth
more than a dollar in the future because a dollar today can be invested to get
a return.”
Definisi ini tidak
akurat karena setiap investasi selalu mempunyai peluang ataukemungkinana untuk
mendapat hasil positif, negative, atau impas. Itu sebabnya dalam teori
keuangan, selalu dikenal hubungan antara risk
return.
Ada dua alasan dari
ekonomi konvensional tentang teori Time
value of money, yaitu:[6]
1. Presence of inflation
Katakanlah
tingkat inflasi 10% per tahun. Seseorang dapat membeli sepuluh potong pisang
goreng hari ini dengan membayar sejumlah Rp10.000,-. Namun bila ia membelinya
tahun depan, dengan sejumlah uang yang sama yaitu Rp10.000,-, ia hanya dapat
membeli Sembilan pisang goreng. Oleh karena itu, ia akan meminta kompensasi
untuk hilangnya daya beli uangnya akibat inflasi.
2. Preference present consumption to future consumption
Bagi
umumnya individu, present consumption lebih disukai dari pada future
consumption. Katakanlah tingkat inflasi nihil, sehingga dengan uang Rp10.000,-
seseorang tetap dapat membeli sepuluh pisang goreng hari ini maupun tahun
depan. Bagi kebanyakan orang, mengonsumsi sepuluh pisang goreng hari ini lebih
disukai dari pada mengonsumsi sepuluh pisang goreng tahun depan. Dengan
argumentasi ini, meskipun suatu perekonomian tingkat inflasinya nihil,
seseorang lebih menyukai Rp10.000,- hari ini dan mengonsumsi hari ini. Oleh
karena itu untuk menunda konsumsi, ia meminta kompensasi.
Alasan pertama tidak dapat diterima
karena tidak lengkap kondisinya. Dalam setiap perekonomian selalu ada keadaan
inflasi dan keadaan deflasi. Bila keberadaan inflasi menjadi alasan adanaya negative Time value of money. dengan
demikian, selama ini hanya ada satu kondisi saja (inflasi) yang diakomodasi
oleh teori Time value of money ;
sedangkan kondisi deflasi diabaikan.
Alasan mengenai ketidakpastian return dalam usaha. Dalam ekonomi konvensional,
penerapan Time value of money tidak
senaif yang dibayangkan, misalnya dengan mengabaikan ketidakpastian return yang akan diterima. Bila unsur
ketidakpastian return ini dimasukkan,
ekonomi konvensional menyebut kompensasinya sebagai discount rate. Jadi istilah discount
rate lebih bersifat umum dibandingkan istilah interest rate.[7]
Ekonomi
konvensional memasukkan unsur ketidakpastian return dan menyebut kompensasinya
sebagai discount rate yang lebih
bersifat umum dibandingkan dengan istilah interest
rate. Ketidakpastian return dikonversikan menjadi suatu kepastian melalui premium for uncertainty (hadiah dari
ketidakpastian). Dalam investasi selalu ada kemungkinan mendapatkan
pengembalian yang positif, negatif atau no
return. Inilah yang menyebabkan ketidakpastian (uncertainty), tetapi probabilitas negative return dan no return
ditukarkan dengan sesuatu yang pasti, yaitu premium
for uncertainty.[8]
C. Konsep
Economic Value Of Time
Teori ini dikembangkan
pada abad ke 7 Masehi. Pada saat digunakannya emas dan perak sebagai alat
tukar. Logam ini diterima sebagai alat tukar disebabkan nilai instrinsiknya,
bukan karena mekanisme untuk dikembangkan selama periode itu, sehingga hubungan
debitur/kreditur yang muncul bukan karena akibat transaksi dagang langsung,
namun jelas merupakan transaksi “permintaan uang”. Sejak teori keuangan islam
lebih dekat dengan standar emas hampir pasti bahwa masyarakat muslim lebih
mudah ragu apakah masalah keuangan dunia saat ini disebabkan oleh tidak dipakainya
lagi standar emas atau sejenisnya.[9]
Tentu saja alat
tukar ini sebagaimana sekarang dipahami semua Negara islam dimana saja, tetapi
akhirnya akan condong kepada riba yang diharamkan. Dapat dipermasalahkan bahwa
penolakan terhadap segala bentuk bunga dapat dibenarkan apabila dapat
diperdebatkan apakah teori Time value of
money benar-benar terjadi. Investasi dalam obligasi pemerintah yang stabil,
adalah bebas resiko tidak dibayar, tetapi tidak bebas dari kerugian penyusutan
nilainya yang sudah merupakan kenyataan sejarah diseluruh dunia.
Lagi pula apapun
alasannya uang dengan jumlah yang sama sekarang lebih bernilai dibandingkan
dengan uang saat nanti. Hal ini juga tergantung pada ketidakpastiaan hidup ini,
seperti kematian kreditur yang akan menagih piutangnya. Apabial teori Time value of money hanya masalah
keuntungan dan resiko, maka islam akan menolaknya disebabkan masalah
ketidakpastian didunia ini juga sifat seluruh manusia, dan tidak seorang pun berhak
mengecualikan dirinya dari hal itu dengan sebesar biaya apapun.
Tawney juga
menyatakan bahwa pandangan semula yang melarang riba dalam gereja Kristen
memberikan kesempatan pada Juhudi Diaspora untuk mengambil peranan usaha bank.
Namun, perkembangan berikutnya terdapat pada riba lebih kaku dan cenderung
membagi masalahnya pada aspek dunia dan akhirat, dan memberi kesempatan bagi
Kristen untuk melaksanakan kegiatan simpan pinjam. Namun terlalu sinis pun
pandangan terhadap isu tidak tepat.
Hal ini membuktikan
bahwa pengalaman yang bisa menimbulkan kontroversi tentang bagaimana
melaksanakan bisnis yang benar sesuai dengan ketentuan Tuhan. Landasan atau
keadaan yang digunakan oleh ekonomi konvensional inilah yang ditolak dalam
ekonomi syari’ah, yaitu keadaan alghubmu
bi alghurni (mendapatkan hasil tanpa memperhatikan suatu resiko) dan al kharaj bi la dhaman (memperoleh hasil
tanpa mengeluarkan suatu biaya).[10]
Dalam ekonomi
syar’iah. Penggunaan sejenis discount
rate dalam menetukkan harga bai’
muajjal (membayar tangguh) dapat digunakan. Hal ini dibenarkan, karena:
1. Jual beli dan sewa
menyewa adalah sektor riil yang menimbulkan economic
value added (nilai tambah ekonomis).
2. Tertahannya hak si
penjual (uang pembayaran) yang telah melaksanakan kewajibannya (menyerahkan
barang atau jasa), sehingga ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada
pihak lain.
Begitu pula penggunaan discount rate dalam menentukan nisbah
bagi hasil, dapat digunakan. Nisbah ini akan dikalikan dengan pendapatan aktual
(actual return), bukan dengan
pendapatan yang diharapkan (expected
return). Transaksi bagi hasil berbeda dengan transaksi jual beli dan
transaksi sewa menyewa, karena dalam transaksi bagi hasil hubungannya bukan
antara penjual dengan pembeli atau penyewa dan yang menyewakan. Dalam transaksi
bagi hasil, yang ada adalah hubungan antara pemodal dengan yang memproduktifkan
modal tersebut. Jadi, tidak ada pihak yang telah melaksanakan kewajibannya
namun masih bertahan haknya. Shahibul
maal telah melaksanakan kewajibannya, yaitu memberikan sejumlah modal, yang
memproduktifkan modal (mudharib) juga telah melaksanakan kewajibannya, yaitu
memproduktif kan modal tersebut. Hak bagi Shahibul
maal dan mudharib adalah bagi hasil atas pendapatan atau keuntungan
tersebut, sesuai kesepakatan awal apakah bagi hasil itu akan dilakukan atas
pendapatan atau keuntungan.[11]
D. Economic
Value Of Time dan Teori Akad dalam Islam
Gambaran hukum dalam
islam mengenai prinsip-prinsip keuangan syari’ah adalah tercakup dalam bentuk aqad dan bentuk instrument keuangan. Dua
hal ini akan memberi jalan bagi akademisi maupun investasor yang ingin
konsisten menggunakan prinsip islam dalam menilai instrument investasi yang
tersedia dipasar modal. Berdasarkan prinsip-prinsip dasar diatas, para akademisi
maupun investor tidak serta merta menolak atau memodifikasi instrument keuangna
yang ada. Namun demikian, masih ada peluang untuk melakukan perbaikan dan
bahkan inovasi keuangan, maupun memberikan tawaran-tawaran baru instrumen
keuangan untuk kesejahteraan dan kemanfaatan yang lebih luas (maslahat-mursalah). Hubungan ikatan
dagang dan keuangan didalam islam diatur dengan hukum fiqih muamalat. Fiqh
mualamat membedakan antara wa’ad dengan akad (aqad).
Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak
dan pihak lain. Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yaitu pihak yang memberikan janji
berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberikan
janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Wa’ad belum ditetapkan secara rinci dan
spesifik terms and condition-nya.
Dengan demikian, bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka
sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanski moral.
Akad adalah ikatan
kontrak dua pihak yang telah bersepakat. Hal ini berarti di dalam akad
masing-masing pihak terlihat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing
yang telah tersepakati terlebih dahulu. Akad telah disepati secara rinci dan
spesifik tentang terms and condition-nya.
Dengan demikian, bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalm kontrak itu
tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka salah satu atau kedua pihak tersebut
menerima sanksi yang sudah disepakati dalam akad.
Didalam fiqh muamalat, pembahasan akad
berdasarkan segi ada atau tidak adanya kompensasi dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu: aqad tabarru’ dan aqad tijarah mu’awada. Dengan penjelasan
sebagai berikut:
Aqad tabarru: (Tabarru’
besar dari kata birr dalam bahasa
Arab, yang diartinya kebaikan) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut
transaksi nirlaba atau transaksi tidak mengambil untung. Dengan kata lain, aqad tabarru’ pada hakikatnya bukan
transaksi bisnis untuk memberi keuntungan komersil. Tujuan diterapkannya aqad tabarru’ adalah untuk aktivitas
tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Dalam aqad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak
mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya, imbalan dari aqad tabarru’ adalah dari Allah SWT,
bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh
meminta kepada counterpart-nya untuk
sekedar menutup biaya (cover the cost)
yang dikeluarnya untuk dapat melakukan aqad
tabarru’tersebut. Namun ia tidak boleh sedikit pun mengambil laba dari akad tabarru’ itu. Meminjamkan jasa dan memberikan sesuatu.
Aktivitas meminjam uang dapat dilakukan dengan
tiga cara, yaitu: (1) meminjamkan harga atau qard (pinjaman) (2) meminjam harga dengan memberikan agunan oleh si
peminjam atau rahn (gadai) dan (3) meminjam harta untuk mengambil alih pinjaman
dari pihak lain disebut hiwalah (pengalihan utang).
Aktivitas
meminjamakan jasa dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: (1) meminjamkan jasa
pada saat ini untuk melakukan sesuatu atas nama orang lain disebit wakalah (2)
memberikan jasa untuk pemeliharaan uang atau barang tersebut dengan wadiah dan
(3) memberikan jasa untuk melakukan sesuatu apabila terjadi sesuatu di sebut
kafalah. Aktifitas memberikan sesuatu yang dimiliki kepada orang lain dapat
dilakakan dengan cara hibah, sedaqah, waqaf, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pengertian Time
value of money ( nilai waktu uang ) yaitu merupakan suatu konsep yang
menyatakan nilai uang sekarang akan lebih berharga dari pada nilai uang masa
yang akan datang. Sedangkan pengertian Economic value of time adalah sebuah
konsep dimana waktulah yang memiliki nilai ekonomi, bukan uang yang memiliki
nilai waktu. Dan economic value of time dapat diartikan memaksimumkan nilai
ekonomis suatu dana pada periodik waktu.
Kritik atas konsep time
value of money, Islam tidak mengenal konsep time value of money,
Dasar perhitungan pada kontrak berbasis time value of money adalah
bunga. Sedangkan dasar perhitungan pada kontrak berbasis economic value of
time adalah nisbah. Economic value of time relatif lebih adil dalam
perhitungan kontrak yang bersifat pembiayaan bagi hasil (profit sharing).
Konsep bagi hasil (profit sharing) berdampak pada tingkat nisbah yang
menjadi perjanjian kontrak dua belah pihak.
Gambaran hukum Islam
mengenai prinsip-prinsip keuangan syariah tercakup dalam bentuk aqad dan bentuk instrument keuangan.
Hubungan ikatan dagang dan keuangan di dalam Islam diatur dengan hukum fiqh muamalat. Dalam fiqh muamalat, pembahasan akad dari segi
ada atau tidaknya kompensasi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu aqad tabarru’ dan aqad tijarah.
DAFTAR PUSTAKA
Manahan P.
Tampubolon. 2005. Manajemen Keuangan. Bogor: Ghalia Indonesia.
Adimarwan
A. karim. 2007. EKONOMI MAKRO ISLAM. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Bishop, Matthew. 2010. Ekonomi Panduan dari A sampai Z.
Yogyakarta: Pustaka Baca.
Adiwarman A.Karim. 2011. Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan.
Jakarta: Rajawali Pres.
Muhammad. 2014. Manajemen Keuangan Syari’ah, Cet 1. Yogyakarta : UPP STIM YKPN.
Muhammad. 2016. Manajemen Keuangan Syari’ah, Cet 2.
Yogyakarta : UPP STIM YKPN.
http://www.slideshare.net/alalantanala/kritik-atas-time-value-of-money, diakses pada 14 Maret 2017, 13:12.
[1]
Manahan P. Tampubolon, Manajemen Keuangan, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2005). hlm. 111.
[2]
Muhammad, Manajemen Keuangan Syari’ah, Cet
2, (Yogyakarta : 2016) Hal 157
[3]
Ibid, Hal 158
[4]
Ibid, Hal. 159
[5]
Ibid, Hal. 159
[6]
Adimarwan A. karim, EKONOMI MAKRO ISLAM, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007), hal. 112-113
[7]
Ibid, Hal. 162
[8] http://www.slideshare.net/alalantanala/kritik-atas-time-value-of-money,
diakses pada 14 Maret 2017, 13:12.
[9]
Muhammad, Manajemen Keuangan Syari’ah,
Cet 1 (Yogyakarta : Upp STIM YKPN 2014) Hal. 162
[10]
Ibid, Hal. 163
[11]
Ibid, Hal. 164
Komentar
Posting Komentar