MAKALAH FIQIH : PUASA



MATA KULIAH                                                  DOSEN PENGAJAR
FIKIH                                                                         Hj. Zulfa Makiah, S.Ag, MHI


                    PUASA

     


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN
EKONOMI SYARIAH
2015



DAFTAR ISI
 
BAB I PENDAHULUAN                                                                                                       
A.     Latar Belakang                                                                                                                
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Penulisan                                                                                                  
BAB II PEMBAHASAN                                                                                                        
A.     Pengertian Puasa                                                                                                   
B.     Kedudukan Puasa Dalam Islam                                                                                          
C.     Membayar Fidyah Dan Mengadha Puasa                                                               
D.     Macam-macam Puasa                                                                                                     
E.      Tata Cara Puasa                                                                                                                
F.      Hal yang Membatalkan dan Memakruhkan Puasa                                                 
G.     Hal yang Boleh Dilakukan Saat Puasa                                                                                
BAB III PENUTUP                                                                                                                
Kesimpulan                                                                                                                       
Daftar Pustaka    

                             

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Bagi umat muslim, salah satu hikmah melaksanakan puasa adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dan memperoleh derajat yang agung di hadapan Allah Swt berupa ketakwaan. Hal ini seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183, yang artinya, ”Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkannya atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”
Selain puasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan, umat muslim mengenal puasa lain yang sifatnya sunah. Karena sifatnya puasa sunah, maka  tidak ada kewajiban dan paksaan dalam pelaksanaannya. Puasa bukanlah sekadar menahan rasa lapar dan haus atau sebuah tindakan yang seolah-olah menunjukkan sikap empati terhadap orang-orang yang sedang mengalami kelaparan, sehingga pada saat waktu puasa berakhir, terkadang kita jadi sedikit berlebihan dalam hal makan dan minum.
Selain itu, berlebihan juga untuk menunjukkan bahwa berpuasa adalah suatu tindakan untuk menunjukkan sikap empati kita kepada orang-orang yang kelaparan. Puasa kita memiliki batas akhir waktu dan kita punya makanan untuk mengakhiri puasa. Namun, puasa orang-orang yang sedang kelaparan tidak memiliki kejelasan akan batas akhir waktu. Begitu pula dengan persediaan makanan untuk mengakhirkan puasanya.

         B.   Rumusan Masalah
1.      Apa itu puasa?
2.      Bagaimana cara berpuasa?
3.      Apa saja yang membatalkan puasa?
4.      Apa saja macam-macam puasa?

               C.   Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah selain untuk memenuhi tugas dari dosen mata kuliah Fikih juga sebagai tambahan referensi dan wacan bagi teman-teman yang ingin mencari informasi tambahan mengenai puasa. Untuk memahami apa itu puasa dan bagaimana cara berpuasa, juga untuk mengetahui macam-macam puasa.


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Puasa
Pengertian puasa dalam kaidah bahasa bisa diartikan sebagai menahan. Menahan di sini, yaitu menahan dari hal-hal yang masuk ke dalam mulut dalam bentuk makanan dan minuman, bahkan juga diartikan menahan dari perbuatan dan bicara.
Sementara Pengertian puasa menurut syariah Islam disepakati para ulama, yaitu menahan dari apa pun yang membatalkan puasa, disertai niat untuk berpuasa dari terbit fajar sampai tenggelam matahari (maghrib). Ada pula sebagian ulama yang mendefinisikan kata-kata ’membatalkan puasa’ itu sebagai perbuatan dua anggota badan, yaitu perut dan alat kelamin.Puasa bagi umat Islam adalah menahan diri dari makan dan minum, serta menahan segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa. Waktunya dimulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Itu pun harus disertai niat dan syarat-syarat tertentu..
Pengertian puasa yang pertama adalah komitmen bahwa kita akan belajar jujur pada diri sendiri. Seseorang yang menjalani puasa secara ikhlas akan bersikap enggan untuk membohongi diri sendiri. Sekalipun tidak ada orang yang melihat, dia tidak akan mencuri-curi kesempatan untuk makan dan minum atau melakukan hal lain yang dapat membatalkan puasanya..
Pengertian puasa yang kedua adalah pengendalian diri (self control). Ketika menjalani puasa, kita akan berhadapan dengan hal-hal yang sebenarnya dihalalkan bagi kita. Namun, karena kita sedang berpuasa, hal-hal yang halal tersebut untuk sementara waktu diharamkan bagi kita. Kita pun dengan suka rela menerima ketentuan ini

B.   Kedudukan Puasa dalam Islam
Mengingat Pengertian puasa adalah komitmen bahwa kita akan bersikap jujur pada diri sendiri, andai kita berbuat curang, dengan sendirinya kita telah berada di luar komitmen tersebut. Otomatis puasa yang kita jalani akan jadi kehilangan makna dan pahalanya tidak ada.
Di dalam agama Islam, puasa adalah salah satu rukun Islam yang ketiga, yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam. Banyak jenis puasa yang ada di dalam ajaran agama Islam, ada yang wajib dilaksanakan dan ada yang sunah untuk dilaksanakan. Salah satu puasa wajib bagi umat Islam adalah puasa Ramadhan.
Banyak manfaat yang dapat diambil dari berpuasa. Sebagai umat Islam puasa di bulan Ramadhan tidak hanya menahan lapar dan haus saja, tapi juga menahan lainnya, seperti yang sudah disebutkan tersebut. Dengan rajin beribadah puasa, manusia bisa terhindar dari segala macam penyakit hati, seperti sombong, kikir, iri hati, dendam, dan sebagainya. Hati kita akan tentram dan damai, apabila kita bisa mengendalikan diri kita.

C.   Membayar Fidyah dan Mengqadha Puasa
1.Pembayaran Fidyah
Bagi orang yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa, serta orang sakit yang sakitnya tidak kunjung sembuh, maka wajib bagi mereka fidyah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184).
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “(Yang dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin”.
 Cara membayar fidyah
a)      Ukuran fidyah adalah dilihat dari ‘urf (kebiasaan yang layak) di masyarakat setempat. Selama dianggap memberi makan kepada orang miskin, maka itu dikatakan sah.
b)      Fidyah harus dengan makanan, tidak bisa diganti uang.
c)      Satu hari tidak puasa berarti memberi makan satu orang miskin.
d)      Bisa diberikan berupa makanan mentah (ditambah lauk) atau makanan yang sudah matang.
e)      Tidak boleh mendahulukan fidyah sebelum Ramadhan.
f)        Waktu penunaian fidyah boleh setiap kali tidak puasa, fidyah ditunaikan, atau bisa pula diakhirkan di hari terakhir Ramadhan lalu ditunaikan semuanya.
2. Mengadha Puasa
Yang dimaksud dengan qadha’ adalah mengerjakan suatu ibadah yang memiliki batasan waktu di luar waktunya. Adapun orang yang dikenakan qadha’ puasa adalah orang yang sakit dan sakitnya memberatkan untuk puasa, wanita hamil dan menyusui apabila berat untuk puasa, seorang musafir, juga wanita yang mendapati haidh dan nifas
Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Orang yang menunda qadha’ puasa sampai Ramadhan berikutnya tanpa uzur wajib bertaubat kepada Allah dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qadha’ puasanya… Dan tidak ada kafarah (tebusan) selain itu. Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.”
Namun apabila dia menunda qadha’nya karena ada udzur seperti sakit atau bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqadha’ puasanya.”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menganggap bahwa memberi makan kepada orang miskin karena menunda qadha’ puasa sampai Ramadhan berikutnya dapat diangggap sunnah dan tidak wajib. Dengan alasan bahwa pendapat tersebut hanyalah perkataan sahabat dan menyelisihi nash (dalil) yang menyatakan puasa hanya cukup diganti (diqadha’) dan tidak ada tambahan selain itu. Dasar dibolehkannya hal ini adalah firman Allah Ta’ala,  Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqadha’ puasa) tidak berurutan”.
Ketika seseorang meninggal dunia tapi ia masih memiliki hutang puasa disebutkan dalam hadis berikut ini “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ” Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah kerabat, menurut Imam Nawawi. Ulama lain berpendapat bahwa yang dimaksud adalah ahli waris.Namun hukum membayar puasa di sini bagi ahli waris tidak sampai wajib, hanya disunnahkan.

D.  Macam-Macam Puasa
Ada beberapa macam puasa, yaitu:
1.      Puasa Wajib
Puasa pada bulan ramadhan
2.      Puasa Sunat
Puasa Senin-Kamis
Puasa enam hari pada bulan syawal
Puasa hari Arafah (9 dzulhijah)
Puasa hari ‘Asyura (10 Muharam)
Puasa bulan Syaban
Puasa Tengah bulan (tanggal 13,14,15 bulan Qomariyah Tahun Hijriah)
3.      Puasa Makruh
Puasa hari Tasyriq
4.      Puasa Haram
Puasa pada hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha

E.   Tata Cara Puasa
1.      Niat untuk puasa
Sebelum melaksanakan puasa, kita wajib berniat terlebih dahulu. Puasa kita niatkan sebelum terbit fajar, berdasarkan hadits Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam  “Barangsiapa yang tidak niat untuk melakukan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya”
Khusus untuk puasa yang sunnah, kita boleh berniat puasa setelah fajar terbit apabila sebelumnya kita belum makan. Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang ke ‘Aisyah pada selain bulan Romadhon, kemudian beliau bersabda: “Apakah engkau punya santapan siang? Maka jika tidak ada aku akan berpuasa” (HR. Muslim).
2.    Waktu puasa
Puasa dimulai dari terbitnya fajar hingga hilangnya siang dengan datangnya malam, dengan kata lain hilangnya bundaran matahari di ufuk.
Dalilnya adalah: Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam (Al-Baqarah: 187)
3.  Sahur
Hendaknya sebelum melaksanakan ibadah puasa, kita makan sahur terlebih dahulu. Kita disunahkan untuk mengakhirkan makan sahur sesaat menjelang tibanya waktu subuh. Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik berikut:
“Kami makan sahur bersama Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau shalat” Aku tanyakan (kata Anas), “Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?” Zaid menjawab, “Kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur’an” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Makan sahur yang diperintahkan oleh Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam memiliki beberapa hikmah, antara lain:
a)      Membedakan puasa kita dengan puasanya Ahul Kitab (orang Yahudi dan Nashoro):
Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  “Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahli kitab adalah makan sahur” (HR. Muslim)
b)      Makan Sahur adalah Barokah
Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barakah” (HR. Al-Bukhori dan Muslim).
Dengan makan sahur, berarti kita telah mengikuti sunnahnya Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, sahur juga akan menguatkan badan, menambah semangat, serta membuat puasa menjadi lebih ringan.
Sebagian kaum muslimin memiliki kebiasaan yang jelek ketika sahur. Mereka biasanya melakukan sahur dalam waktu yang lama sebelum subuh tiba, kemudian tidur lagi sampai subuh berlalu. Ini mengakibatkan mereka jatuh kepada beberapa kesalahan:
1)      Berpuasa sebelum waktunya
2)      Meninggalkan shalat jamaah
3)      Terkadang karena tidurnya terlalu nyenyak, mereka bangun kesiangan dan kehilangan sholat sama sekali
Oleh karena itu hendaknya waktu sahur kita akhirkan dan sebaiknya setelah sahur, kita jangan tidur lagi. Persiapkanlah diri kita untuk shalat subuh yang akan segera tiba.


F.    Yang Membatalkan dan Memakruhkan Puasa
Hal-hal yang Membatalkan Puasa:
 1. Makan dan MinumApabila kita makan atau minum di siang hari sewaktu puasa, maka puasa kita batal. Kecuali jika kita lupa sedang puasa, maka makan dan minum itu tidaklah membatalkan puasa kita. Kita bisa melanjutkan puasa kita secara sempurna.
2. Muntah dengan Sengaja
Muntah dengan sengaja dapat membatalkan puasa. Dalilnya adalah hadits Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang terpaksa muntah, maka tidak wajib baginya untuk mengqadha (mengganti) puasanya, dan barangsiapa muntah dengan sengaja, maka wajib baginya mengqadha puasanya”.
3. Melakukan hubungan suami istri pada siang hari
Laki-laki yang membatalkan puasanya dengan bersetubuh diwaktu siang hari di bulan ramadhan, sedangkan dia berkewajibn puasa, maka ia wajib membayar kafarat.
4.Keluar darah haid atau nifas
Dari Aisyah, ia berkata: “kami disuruh oleh Rasulullah Saw. Mengqadha puasa, dan tidak disuruhnya untuk mengqadha sholat” (riwayat Bukhari)
 5. keluar mani dengan disengaja

Hal-hal yang makruh dilakukan saat puasa:
1.      Berkata-kata kotor, keji dan dusta
2.      Berkumur-kumur dan menyikat gigi di siang hari
3.      Memasukkan sesuatu ke lubang-lubang yang ada pada anggota tubuh
4.      Menikmati aroma masakan
5.      Menangis terlalu berlebihan

G.  Yang Boleh Dilakukan Saat Puasa
1. Bersiwak
Ketika sedang berpuasa, kita boleh mempergunakannya untuk membersihkan gigi kita, terutama ketika akan sholat. Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak setiap kali akan sholat” (HR. Al-Bukhori dan Muslim).
2. Berkumur dan Istinsyaq (Memasukkan Air ke dalam Hidung ketika Berwudhu)
Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk bersungguh-sungguh di dalam melakukan istinsyaq. Namun beliau melarang untuk berlebih-lebihan apabila sedang berpuasa. Beliau bersabda,
 “Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali dalam keadaan puasa”
3. Mengguyurkan Air ke Atas Kepala karena Panas atau Haus
Apabila kita merasa kepanasan atau haus, maka kita diperbolehkan untuk mengguyurkan air ke kepala kita. Dalilnya adalah hadits,
Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam mengguyurkan air ke kepalanya dalam keadaan puasa karena haus atau kepanasan.
4. Seorang yang Puasa Dibolehkan Memasuki Waktu Subuh dalam Keadaan Junub
Diriwayatkan dari Aisyah dan Ummu Salamah -radhiallahu 'anhuma: "Bahwasanya Nabi –Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam memasuki waktu subuh dalam keadaan junub karena jima' dengan istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa." (HR. Bukhari dan Muslim)
5. Bercengkrama (Bercumbu) dan Mencium Istri Ibunda Aisyah –Radhiallahu 'Anha pernah berkata: "Bahwasanya Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam mencium (isterinya) dalam keadaan puasa dan bercengakrama (bercumbu) dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menahan diri." (HR. Bukhari dan Muslim). Hal ini diperbolehkan bagi mereka yang bisa menahan diri untuk tidak sampai keluar air mani atau menjurus kepada jima'.
6. Mengeluarkan Darah Untuk Pemeriksaan dan Suntikan yang Tidak Bertujuan Pengganti Makanan Semua ini bukan pembatal puasa karena tidak ada dalil yang mengatakan batalnya puasa dengan hal-hal tersebut. Keterangan lebih lanjut dibahas dalam pembatal-pembatal puasa. ("Majalis Syahr Ramadhan" hlm 103. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin).
Hal ini dibatasi selama tidak sampai tenggorokan dan tidak ditelan, berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas –Radhiallahu 'Anhuma: "Tidak mengapa mencicipi kholl (cuka) atau sesuatu yang lain dalam keadaaan puasa selama tidak sampai ke tenggorokan." (HR.Bukhari secara mu'allaq, dimaushulkan Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi dengan sanad hasan).
8. Memakai Celak, Obat Tetes Mata dan Telinga dan Lainnya
Semua ini tidak membatalkan puasa, baik rasanya sampai di tenggorokan atau tidak, karena semua ini bukan makan dan minum dan tidak sama dengan makan dan minum. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah dalam risalahnya yang bermanfaat "Haqiqatus Shiyam", serta muridnya Ibnul Qoyyim –rahimahullah dalam kitabnya 'Zaadul Ma'ad", juga para ulama yang lainnya seperti Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin–rahimahullah dll. Imam Bukhari –rahimahullah berkata dalam kitab "Shahih Bukhari": "Anas bin Malik, Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakhai' memandang tidak mengapa memakai celak (sipat) bagi orang yang berpuasa." ("Majalis Syahr Ramadhan" karya Syaikh Utsaimin, hlm 110 dan "Sifhat Shoum Nabi " hlm 56).
9. Memakai Hand Spray (Obat yang Disemprotkan Melalui Mulut) Bagi Penderita Asma (Sesak Napas) Fadhlilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin –rahimahullah berpendapat bahwa memakai obat seperti ini tidaklah membatalkan puasa karena tidak sampai masuk ke dalam perut dan tujuannya adalah untuk membuka saluran napas sehingga seorang yang sesak napas bisa bernapas kembali dengan lega dan normal. Beliau berpendapat bahwa hal ini bukanlah makan dan minum dan tidak sama dengan makan dan minum yang sampai masuk ke dalam perut. (Kitab "48 Su'aalan Fi Ash-Shiyam Ajaba Alaiha Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin" hlm 62-63, jama' wa tartib: Salim bin Muhammad Al-Juhani).


BAB III

PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa puasa merupakan rukun islam yang ke 3. Yang wajib dilakukan bagi semua umat muslim yang ada di seluruh penjuru dunia. Dengan ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh syari’at-syari’at islam. Salah satu hikmahnya yaitu, sebagai wujud terima kasih kita kepada Allah SWT. Atas nikmat pemberian-Nya yang tidak terbatas banyaknya dan tidak ternilai harganya.


DAFTAR PUSTAKA
Rasjid, Sulaima.1954. Fiqih Islam.Jakarta: Attahiriyah Jakarta
Nasution, Lahmuddin. Fiqh 1. Logos


                                        


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH TIME VALUE OF MONEY - MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH

MAKALAH FIQH MUAMALAH KONTEMPORER: WADI'AH