MAKALAH FIQH MUAMALAH KONTEMPORER: WADI'AH
MATA KULIAH DOSEN PENGAMPU
FIKIH MUAMALAT KONTEMPORER Dra. Fitriana Syarqawie,
MHI
“WADI’AH”
Kelompok 11:
1501150074
1501150078
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN
EKONOMI SYARIAH
2016
DAFTAR ISI
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
BAB II Pembahasan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam bidang ekonomi syariah, wadiah adalah
titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat nasabah yang
bersangkutan menghendaki. Bank bertanggung jawab atas pengembalian titipan
tersebut. Secara harfiah, al-Wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari
satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga
dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.
Di lingkungan masyarakat penitipan barang
bukanlah hal yang asing lagi. Seseorang berani menitipkan barang kepada orang
lain. Hal ini sering dilalaikan oleh seorang yang diberikan amanah. Menganggap
barang yang dititipkan tersebut adalah barang yang bisa dipakainya juga. Padah
sebenarnya tidak seperti itu, seseorang yang diberikan amanah hanya berhak
menjaga barang yang di titipkan kepadanya tersebut.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian wadi’ah?
2. Apa dasar hukum dalam wadi’ah?
3. Bagaimana hukum wadiah?
4. Apa rukun dan syarat dalam wadiah?
5. Bagaimana wadiah dalam perkankan?
6. Bagaimana fatwa MUI tentang wadiah?
C. Tujuan
Makalah
1. Memahami makna wadiah
2. Mengetahui dasar hukum wadiah
3. Memahami hukum wadiah
4. .Mengetahui rukun dan syarat
dalam wadiah
5. Mengetahui penerapan wadiah dalam perbankan
6. Memahami fatwa MUI tentang wadiah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Wadi’ah
Secara etimologis kata wadi’ah berasal dari kata wada’a asy syai’, berarti
meninggalkannya. Adapun wadi’ah secara terminologis yaitu, pemberian kuasa oeh penitip kepada orang yang
menjaga hartanya tanpa konpensasi (gaji).
Dinamai: sesuatu yang ditingggalkan seseorang pada orang lain untuk
dijadikan dengan sebutan qadi’ah lantaran ia meninggalkannya pada orang yang
menerima titipan.[1]
Seperti di jelaskan dalam firman Allah Swt.
Dalam surah An-Nisa:58;
اِنَّ اْ للَّهَ يَاْ مُرُ كُم اَن
تُوءَدُّوا الاَ منتِ اِلى اَهلِهَا.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa: 58)
B. Dasar Hukum
Wadi’ah
Al-wadi’ah
adalh amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengemalikannya pada
waktu pemilik meminta kembali, firman Allah Swt:
فَإِنْ أَمِنَ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَانَتهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ
رَبَّهُ
Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya.
(al-Baqaarah:283)
Orang yang menerima barang
titipan tidak berkewajiban menjamin, kecuali bila ia tidak melakukan kerja
denga sebagaimana mestinya atau melakukan jinayah terhadap barang titipan.
Berdasarkan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Dar al-Quthni dan riwayat Arar
bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi Saw. bersabda:
مَنْ أَوْدَعَ وَدِيْعَةٌ فَلاَ َضَمَانَ
عَلَيْهِ (رواه الدار قطنى)
“siapa saja
yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin” (Riwayat Daruquthni)
لاَ ضَمَا نَ عَلَى مُؤْ تَمَنٍ (رواه البيهقى)
"tidak ada
kewajiban menjamin untuk orang yang diberi amanat” (Riwayat al-Baihaqi)
C. Hukum
Menerima Barang Wadi’ah
1. Sunah, bagi orang yang percaya kepada dirinya
bahwa dia sanggup menjaga petaruh yang diserahkan kepadanya. Memang menerima
petaruh adalah sebagian dari tolong-menolong yang dianjurkan oleh agama islam.
Hukum ini (sunat) apabila ada orang lain yang dapat dipetaruhi; tetapi kalau
tidak ada yang lain, hanya dia sendiri, ketika itu ia wajib menerima petaruh
yang dititipkan kepadanya.
2. Wajib,
diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa
dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara orang lain
tidak ada seorangpun yang dapat dipercaya untuk memelihara benda-benda
tersebut.
3. Haram, apabila dia tidak kuasa atau
tidak sanggup menjaganya sebagaimana mestinya, karena seolah-olah ia membukakan
pintu untuk kerusakan atau lenyapnya barang yang dititipkan itu.
4. Makruh, yaitu bagi orang yang
dapat menjaganya, tetapi ia tidak percaya kepada dirinya; boleh jadi dikemudian
hari hal itu akan menyebabkan dia berkhianat terhadap barang yang dititipkan
kepadanya.
D. Rukun Dan Syarat Wadi’ah
1. Ada barang yang dipetaruhkan (wadi’ah
bih).
Syaratnya, merupakan milik yang sah.
2. Ada yang berpetaruh (muwaddi) dan yang menerima petaruh (mustauda)[2]. Syarat keduanya seperti keadaan
wakil dan yang berwakil; tiap-tiap orang yang sah berwakil atau menjadi wakil,
sah pula menerima petaruh dan berpetaruh.
3. Lafaz, seperti: “saya petaruhkan
barang ini kepada engkau.” Jawabnya, “saya terima petaruhmu.” Menurut pendapat
yang sah tidak disyaratkan adanyalafaz Kabul, tetapi cukup dengan perbuatan
(menerima barang yang dipetaruhkan). Habis masa akad wadi’ah ialah dengan
matinya salah seorang dari yang berpetaruh atau yang menerima petaruh, begitu
juga apabila salah seorangnya gila atau minta berhenti.
Akad
petaruh adalah akad percaya-mempercayai. Oleh karena itu, yang menerima petaruh
tidak perlu menggantinya apabila barang yang dipetaruhkan hilang atau rusak.
Kecuali apabila rusak karena ia lalai atau kurang penjagaan, berarti tidak
dijaga sebagaimana mestinya.
E. Wadi’ah Dalam Perbankan Syariah
Secara umum terdapat dua jenis wadi’ah, yaitu wadi’ah yad al-amanah dan wadi’ah
yad adh-dhamanah.
1. wadi’ah yad al-amanah (trustee
defostery)
Wadi’ah
jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.
harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh
penerima titipan.
b.
penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban
untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.
c.
sebagai kompensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya
kepada yang menitipkan.
d.
mengingat barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh
penerima titipan, aplikasi perbankan yang
memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa penitipan atau safe defosit box.
2.
Wadi’ah yad adh-dhamanah (guarantee depository)
Wadi’ah jenis
ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.
harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang
menerima titipan.
b.
karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat
menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima
titipan untuk memberikan hasil manfaat kepada si penitip.
c.
produk perbankan yang sesuai dengan akad ini.
Prinsip wadi’ah yad dhamanah inilah yang secara
luas kemudian diaplikasikan dalam dunia perbankan syariah dalam bentuk
produk-produk pendanaan[3],
yaitu:
1) giro (Current Account)
wadi’ah
2) Tabungan (saving Account)
wadi’ah.
F. Fatwa DSN MUI Tentang Wadi’ah
DEWAN SYARIAH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA

FATWA
DEWAN SYARIAH NASIONAL
Nomor: 36/DSN-MUI/X/2002
Tentang
SERTIFIKAT WADI’AH BANK INDONESIA
(S W B I)
بِسمِ اللهِ الرَ حمنِ الرَحِيمِ
Dewan
Syariah Nasional, setelah:
Menimbang: a. bahwa dalam rangka pelaksanaan pengendalian moneter
berdasarkan prinsip syariah dan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi
kelebihan likuiditas bank syariah, diperlukan instrument yang diterbitkan bank
sentral yang sesuai dengan syariah;
b. bahwa Bank Indonesia
selaku bank sentral berkewajiban melakukan pengawasan dan pengembangan terhadap
bank syariah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku;
c. bahwa Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) yang berdasarkan sistem bunga tidak boleh dimanfaatkan oleh
bank syariah;
d. bahwa ole karena itu,
dipandang peru menetapkan fatwa tenetang sertifikat yang diterbikan oleh Bank
Indonesia yang sesuai dengan prinsip syariah.
Mengingat: 1.
Firman Allah, QS. An-Nisa’/4:29:
يَا اْيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَاِكُلُوا أموَالَكُم بَينَكُم بِالبَاطِلِ إِلَّا أن
تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِنكُم...
Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan (mengambil) harta orang lain
secara batil, kecuali jika berupa perdagangan yang dilandasi sukareladi antara
kalian…
2.
Firman Allah, QS. Al-Baqarah/2:275:
...وَ أَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَ حَرَّمَ الرِّبَا...
Allah telah menghhalkan
jual beli dan mengharamkan riba.
3. Firman Allah, QS. Al-Baqarah/2:283:
...فَإِنْ أَمِنَ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَانَتهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ
رَبَّهُ...
…Maka jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…
4. Firman
Allah, QS. Al-Ma’idah/5:1:
يَا أيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْ فُوْا بَا لْعُقُوْدِ...
Wahai
orang-orang beriman, penuhikag akad-akad itu…
5. Firman Allah, QS. An-Nisa’[4]:58:
إِنَّ اللَّه يَأْ مُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوْا اْلأَمَانَاتِ إِلىَ
أهْلِهَا...
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…
6. Firman Allah, QS. Al-Ma’idah/5:2:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُواعَلَى
الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ، واتَّقُوا اللَّهَ، إِنَّاللَّهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya.
7. Hadis
Riwayat Abu Dawud dan al-Tirmidzi.
أَدِّ لأَمَا نَةَ إِلَى مَنِ اءْتَمَنَكَ وَلاَتَخُنْ مَنْ خَانَكَ
(رواه أبوداودوالترمذي،وقال حديث حسن)
Tunaikanlah amanat itu kepada orang yang
memberi amanat kepadamu dan jangan kamu menghianati orang yang mengkhianatimu.
8. Kaidah Fiqh:
اَ لأَ صْلُ فِي
الْمُعَامَلاَتِ الإِبَا حَةُ إِلَّا أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى
تَحْرِيْمِهَا.
Pada dasarnya, segala sesuatu dalam
muammalah boleh di lakukan sampai ada dalil yang mengharamkannya.(As-Suyuthi,
Al-Asybah wan Nadzair, 60).
تَصَرُّفُ الإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Tindakan Imam [pemegang otoritas] terhadap
rakyat harus mengikuti maslahat.(As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 121)
اَلْحَا جَةُ قَدْ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ
Keperluan
dapat menduduki posisi darurat.(As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair,63)
Memerhatikan:1.
Kesepakatan para ulama atas kebolehan berakad wadi’ah (al-ida’ wa al-istida’).
Lihat Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz VI, h. 382; al-Mabsuth, XI, h. 109; Wahbah
al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, V, h. 4018)
2. Pendapat
peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada hari rabu, tanggal 23 Oktober
2002 M/16 Sya’ban 1423 H
MEMUTUSKAN
Menetapkan:
FATWA TENTANG SERTIFIKAT WADI’AH BANK INDONESIA (SWBI)
Pertama:
1.Bank Indonesia selaku bank sentral boleh menerbitkan instrumen moneter
berdasarkan prinsip syariah yang dinamakan Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia
(SWBI), yang dapat dimanfaatkan oleh bank syariah untuk mengatasi kelebihan
likuiditasnya.
2.
Akad yang digunakan untuk instrumen SWBI adalah akad wadi’ah sebagaimana diatur
dalam Fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro dan Fatwa DSN No.
02/DSN-MUI/IV/2000 tentang tabungan.
3. Dalam SWBI tidak boleh ada
imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat
sukarela dari pihak Bank Indonesia.
4. SWBI tidak
boleh diperjualbelikan.
Kedua : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan
dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan di
ubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 23 Oktober 2002 M
16
Sya’ban 1423 H
DEWAN SYARIAH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua Sekretaris,
Dr.
K.H. M.A. Sahal Mahfudh Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin
DAFTAR PUSTAKA
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah.(Bandung:
PT. AL-MA’ARIF BANDUNG, 1998).
Suhendi, Hendi. Fiqh Muammalah.(Jakarta:
RAJAWALI PRESS, 2010).
Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah.(Jakarta:
PRENADA MEDIA GROUP, 2012).
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam.(Bandung:
SINAR BARU ALGENSINDO, 2015).
Komentar
Posting Komentar