FIQH MAWARIS
A.
Pengertian
Fiqh Mawaris
B.
Hukum
Mempelajari dan Mengajarkan Fiqh Mawaris
C.
Hukum
Kewarisan Sebelum Islam dan Perkembangannya
D.
Perkembangan
Hukum Kewarisan Pada Masa Awal-awal Islam
E.
Sumber-sumber Hukum Kewarisan Islam
F.
Syarat dan Rukun Pembagian Warisan
G.
Halangan
Untuk Menerima Warisan
H.
Sebab-sebab
Untuk Menerima Warisan
I.
Hak-hak Yang Wajib Ditunaikan Sebelum Warisan
Dibagi Kepada Ahli Waris
J.
Ahli Waris Nasabiyah
K.
Ahli
Waris Sababiyah
L.
Al-Furudl al-Muqaddarah dan Macam-macamnya
M.
Ahli
Waris Ashab al-Furudl dan Hak-haknya
N.
Ahli
Waris Ashabah dan Macam-macamnya
O.
Ahli
Waris Dzawi al-Arham
P.
Ahli Waris Maula al-Mu’tiq
Q.
Ahli
Waris Yang Terhijab
A.
Pengertian
Fiqh Mawaris
Kata Fiqh berasal dari bahasa arab Fiqh yang secara bahasa adalah
mengetahui, memahami, yaitu mengetahui sesuatu sebagai hasil usaha menggunakan
akal pikiran yang sungguh-sungguh. Sedangkan menurut istilah ‘ulama ilmu yang
membahas segala hukum syara’ yang berhubungan dengan amaliah, dipetik dari dalil-dalinya
yang jelas (Al-Qur’an dan Al-Hadits).
KataMawaris
itu berasal dari bahasa arab yaitu bentuk jamak dari ميرا
ث(miraats) adalah harta peninggalan
orang yang meninggal yang diwariskan kepada para warisnya. Orang yang
meninggalkan harta disebut muwarits. Sedang yang berhak
menerima pusaka adalah warits.
Fiqih
Mawaris atau Ilmu Faraidh adalah suatu disiplin ilmu yang membahas seluk-beluk pembagian
harta waris, ketentuan-ketentuan ahli waris, dan bagian-bagiannya.
B.
Hukum
Mempelajari dan Mengajarkan Fiqh Mawaris
Agama Islam mengatur ketentuan pembagian warisan secara rinci dalam
Al-Qur’an agar tidak terjadi perselisihan antara sesama ahli waris sepeninggal
orang yang meninggal dunia dan hartanya diwarisi. Islam menghendaki dan
meletakkan prinsip adil dan keadilan sebagai salah satu sendi pembentukan dan
pembinaan masyarakat dapat ditegakkan. Ketentuan tersebut tidak dapat berjalan
dengan baik dan efektif, manakala tidak ditunjang oleh tenaga-tenaga ahli yang
memahami secara mendalam dan dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut
dengan baik
Untuk itu, keberadaan orang-orang yang mempelajari dan mengajarkan
agama Islam diharapkan dapat merealisasikan fiqih mawaris dalam
pembagian warisan yang mana semua orang akan mengalami kematian. Para ulama
berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqh mawaris adalah wajib kifayah,
artinya suatu kewajiban yang apabila telah dikerjakan oleh sebagian orang maka
gugurlah kewajiban semua orang. Akan tetapi jika tidak ada satupun yang
mengerjakannya maka semua orang dalam lingkungan tersebut akan menanggung dosa.
C.
Hukum
Kewarisan Sebelum Islam dan Perkembangannya
Pada jaman
jahiliyah yakni sebelum datangnya islam, ahli waris yang berhak mendapatkan
warisan hanya laki laki saja, itupun hanya
lelaki yang bisa berperang, seperti yang di ungkapkan oleh Dr Moch
Dja’far dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam.“ Yang boleh mewaris hanyalah
laki-laki dewasa yang telah mahir naik kuda dan memanggul senjata ke medan
perang serta memboyong harta ganimah (rampasan perang),’’ Kerabat yang berhak
menerima waris pada jaman itu adalah anak laki-laki,saudara laki-laki,paman,
dan anak laki-laki paman.” Sedangkan perempuan tidak mendapatkan warisan
apapun, inilah yang menjadi salah satu faktor dimana jaman dulu banyak di
lakukan penguburan bayi perempuan hidup-hidup.
Struktur
pemerintahan Zaman jahiliyah masih di dominasi dengan sistem kesukuan, jadi
harta dan pusaka yang di milki oleh orang yang meninggal menjadi milik suku,
sehingga seorang laki laki yang bahkan bukan kerabatnya yang hanya terikat
janji setia dalam satu suku lebih berhak
mendapatkan warisan dari pada perempuan yang sudah jelas kerabatnya.
Ada tiga syarat
dan sebab untuk menerima dan mendapatkan waris
a.
Qarabah atau pertalian kerabat
b.
Muhalafah atau adanya janji setia
c.
Tabany atau adopsi
D.
Perkembangan
Hukum Kewarisan Pada Masa Awal-awal Islam
Pada masa awal-awal Islam, hukum kewarisan belum mengalami
perubahan yang berarti. Didalamnya masih terdapat penambahan-penambahan yang
lebih berkonotasi strategi untuk kepentingan dakwah atau bahkan politik, dengan
tujuan untuk merangsang ikatan persaudaraan demi perjuangan dan keberhasilan
misi Islam. Karena pada saat itu kondisi
Islam masih sangat lemah, baik sebagai komunitas bangsa maupun dalam pemantapan
ajaran-ajarannya yang masih dalam dinamika pertumbuhan.
Setelah
Rasullah menerima perintah dari Allah untuk meninggalkan kota Makkah dan menuju
ke Madinah, disinilah Rasulullah disambut gembira beserta rombongannya dengan
ditempatkan di rumah mereka, dicukupi segala keperluan, dilindungi jiwanya dari
kaum musyrik. Untuk memperteguh dan mengabdikan persaudaraan antara kaum Muhajirin
dan Anshar, Rasulullah menjadikan ikatan persaudaraan sebagai salah satu sebab
saling mewarisi apabila ada dari salah satu mereka yang meninggal dunia.
Persaudaraan ini merupakan persaudaraan yang efektif dan nyata antara
orang-orang Islam Makkah dan Madinah, yaitu setiap dua orang bersaudara karena
Allah. Misalnya, Abu Bakr bersaudara dengan Kharijah ibn Zuhair, Umar bin Khattab bersaudara dengan ‘Ithban
ibn Malik al-khazraj dan seterusnya.
E.
Sumber-sumber Hukum Kewarisan Islam
Kewarisan
islam memiliki sumber-sumber hukum yang menjadi dalil atau dasar sebagai
penguat hukum kewarisan tersebut. Diantara sumber-sumber hukum kewarisan dalam
Islam diantaranya adalah, sebagai berikut :
- Dalil- dalil yang bersumber dari al-qur’an
- Dalil-dalil yang bersumber dari as-sunnah, dan
- Dalil-dalil yang bersumber dari ijma dan ijtihad para ulama
Dengan
demikian, sumber hukum islam tentang waris ialah asal hukum islam tentang
waris. Adapun ketiga dalil tentang dasar-dasar hukum ilmu mawaris tersebut
diatas yaitu:
Dasar hukum
bagi kewarisan adalah nash atau apa yang ada dalam Al Qur’an dan Sunnah.
Ayat-ayat Qur’an yang mengatur secara langsung kewarisan diantaranya adalah Q.S
an-Nisa:7 yang artinya “Bagi
orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
Dasar hukum
kewarisan yang kedua, yaitu dasar hukum yang terdapat dalam hadits nabi
Muhammad SAW. Dari sekian banyak hadits nabi yang menjadi landasan hokum
kewarisan islam, pemakalah hanya mencantumkan beberapa dari hadits nabi,
diantaranya sebagai berikut : “Dari
Ibnu Abbas R.A dari Nabi SAW berkata : Berikanlah faraid ( bagian-bagian yang
ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki
dari keturunan laki-laki yang dekat.”
Meskipun Al-Qur’an dan Sunnah Rasul telah memberi
ketentuan terperinci tentang pembagian harta warisan, tetapi dalam beberapa hal
masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan
dalam kedua sumber hukum tersebut. Misalnya mengenai bagian warisan orang
banci, harta warisan yang tidak habis terbagi kepada siapa sisanya diberikan,
bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan duda atau janda.
F.
Syarat dan Rukun Pembagian Warisan
Terdapat tiga syarat warisan yang
telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah:
1.
Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy,
hukmy (misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.
2.
Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu
pewaris meninggal dunia.
Adapun rukun waris dalam hukum
kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu :
1. Muwaris, yaitu orang yang diwarisi
harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah
muwaris benar-benar telah meninggal dunia. Kematian seorang muwaris itu,
menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam :
a) Mati
Haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa membutuhkan
putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang banyak dengan
panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.
b) Mati
Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian yang
dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan. c)
Mati Taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris)
berdasarkan dugaan keras.
2.
Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai
hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau
perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat
meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benarbenar dalam keadaan hidup.
Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-haml).
Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu: antara muwaris dan ahli
waris tidak ada halangan saling mewarisi.
3.
Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati
setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan
wasiat.
G.
Halangan
Untuk Menerima Warisan
Hijab secara
harfiah berarti satir, penutup atau penghalang. Dalam fiqh mawaris, istilah ini
digunakan untuk menjelaskan ahli waris yang hubungan kekerabatannya jauh, yang
kadang-kadang atau seterusna terhalang hak-hak kewarisanya oleh ahli waris yang
lebih dekat. Ahli waris yang terhalangi disebut hajib, sedangkan ahli
waris yang terhalang disebut dengan mahjub. Keadaan yang terhalangi
disebut hijab.
Hijab dilihat dari segi
akibatnya, hijab dibagi 2 macam:
a. Hijab Nuqson, Hijab Nuqson yaitu menghalangi yang berakibat mengurangi bagian ahli
waris yang mahjub, seperti suami, yang seharusnya menerima bagian 1/2, karena
bersama anak baik laki-laki maupun perempuan, bagianya terkurangi menjadi 1/4.
Ibu yang sedianya menerima bagian 1/3, karena bersama dengan anak, atau saudara
2 orang atau lebih, terkurangi bagianya menjadi 1/6. Ahli waris
nenek apabila tidak mahjub oleh bapak atau ibu, mendapat bagian 1/6
(kedudukanya hampir sama dengan ibu). Demikan juga kakek jika tidak ada bapak,
kedudukanya sama dengan bapak, kecuali dalam masalah al-jadd ma’a al ikhwah.
b. Hijab Hirman, Hijab Hirman dalah
hijab yang menghalangi secara total. Akibatnya hak-hak waris ahli waris yang
termahjub tertutup sama sekali denga adanya ahli waris yang menghalangi.
Misalnya, saudara perempuan kandungyang semula berhak menerima bagian 1/2,
tetapi karena bersama dengan anak laki-laki, menjadi tertutup sama sekali atau tidak mendapat bagian. Saudara seibu yang sedianya menerima bagian 1/6 karena bersama dengan
anak perempuan, menjadi tertutup sama sekali.
H.
Sebab-sebab
Untuk Menerima Warisan
1. Hubungan darah atau kekerabatan. Hubungan ini dikenal
juga dengan nasab hakiki, yaitu hubungan keluarga atau orang yang mewarisi
dengan orang yang diwarisi. Seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan
seterusnya. Hal ini ditegaskan dalam ayat yang artinya, “orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. al-Anfal:75).
2. Hubungan perkawinan. Hubungan perkawinan sebagai penyebab
pewarisan sebagaimana termuat dalam surah an-Nisa’[4] ayat 11. Hubungan
perkawinan terjadi jika akad telah dilakukan secara sah antara suami dan istri.
Meskipun diantara keduanya belum pernah melakukan hubungan intim, hak pewaris
tetap berlaku. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bias menjadi
sebab untuk mendapatkan hak waris.
3. Hubungan antara budak dengan yang
memerdekakannya. Hukum ini mungkin terjadi pada zaman dahulu. Zaman perbudakan.
Dalam fikih islam hubungan ini diistilahkan dengan wala’. Seseorang yang telah
memerdekakan budak, jika budak itu telah merdeka dan memiliki kekayaan jika ia
mati yang membebaskan budak berhak mendapatkan warisan. Akan tetapi, jika yang
mati adalah yang membebaskannya, budak yang telah bebas tersebut tetap tidak
berhak mendapat warisan. Sebagaiman hadis berbunyi,”Hak wala’ itu hanya bagi orang yang telah membebaskan hamba sahayanya.”(H.R.
Bukhari dan Muslim).
I.
Hak-hak Yang Wajib Ditunaikan Sebelum Warisan
Dibagi Kepada Ahli Waris
Pertama, harta peninggalan pewaris pertama-tama dikeluarkan untuk
memenuhi haknya pewaris, yaitu biaya penyelenggaraan jenazah antara lain biaya
memandikan, pembelian kain kafan, membawanya ke kubur dan biaya penguburannya.
Pengeluaran tajhiz mayit ini dilaksanakan menurut ukuran yang wajar, tidak
berlebih-lebihan dan tidak terlalu ngirit dan hanya untuk yang dituntunkan oleh
syara', hal-hal yang tidak diperintahkan oleh syara' apabila dilaksanakan juga
karena desakan tradisi tidak diambilkan dari tirkah, sehingga tidak mengurangi
haknya pihak lain, seperti haknya para kreditur termasuk haknya ahli waris
sendiri. Dari tirkah ini diambilkan juga untuk biaya tajhiz orang yang
nafkahnya pada waktu hidupnya menjadi tanggung jawab pewaris, seperti anaknya
atau isterinya yang juga meninggal sebelum harta warisan dibagi-bagi.
Kedua, setelah dikeluarkan untuk biaya penyelenggaraan jenazah dan
pewaris mempunyai hutang, seianjutnya harta peninggalan digunakan untuk
membayar hutangnya pewaris atau untuk memenuhi hak-haknya para lreditur.
Ketiga, setelah hutang hutang pewaris dibayar dan
pewaris ada meninggalkan wasiat, dan harta peninggalannya masih ada, maka
selanjutnya dikeluarkan lagi untuk melaksanakan wasiatnya pewaris dengan batas
maksimal sepertiga dari harta yang tersisa. Bahwa wasiat itu maksimal sepertiga
adalah sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi riwayat al-Bukhari-Muslim dari
Sa'ad bin Abi Waqas. Oleh karena itu apabila wasiat tersebut lebih dari
sepertiga maka kelebihannya menjadi batal kecuali apabila semua ahli waris
mengijinkan. Hal ini dapat difahami, wasiat itu dibatasi sepertiga adalah dalam
rangka memperhatikan haknya para ahli waris. Oleh karena itu apabila ahli waris
tidak keberatan haknya dikurangi, maka kelebihannya dari sepertiga
diperbolehkan.
Keempat, setelah ketiga pengeluaran di atas dilaksanakan dan harta
peninggalan pewaris masih tersisa, maka sisanya itulah yang menjadi haknya para
ahli waris.
J.
Ahli
Waris Nasabiyah
Ahli waris nasabiyah adalah ahli waris yang pertalian
kekerabatannya kepada al-muwarris
didasarkan pada hubungan darah. Secara umum dapat dikatakan bahwasanya ahli waris nasabiyah itu
seluruhnya ada 21 yang terdiri dari 13 kelompok laki- laki dan 8 kelompok
perempuan.
Ahli waris laki-laki didasarkan urutan kelompoknya sebagai berikut:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki sampai seterusnya kebawah
yaitu cicit laki-laki buyut laki- laki dan seterusnya.
3. Bapak.
4. Kakek dari garis bapak.
5. Saudara laki-laki sekandung.
6. Saudara laki-laki seayah saja.
7. Saudara laki-laki seibu saja.
8. Anak laki-laki dari saudara laki- laki kandung.
9. Anak laki-laki dari saudara seayah.
10. Saudara laki-laki bapak yang seibu sebapak (kandung).
11. Saudara laki-laki bapak (dari bapak) yang sebapak saja.
12. Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak (paman) yang seibu
sebapak (kandung).
13. Anak laki-laki paman yang seayah.
Adapun Ahli waris perempuan didasarkan kelompoknya ada 8 orang
yaitu:
1)
Anak
perempuan.
2)
Cucu
perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah, yaitu cicit perempuan
dari cucu laki- lak, puit perempuan dari cicit laki-laki dan sererusnya.
3)
Ibu.
4)
Nenek
dari ibu.
5)
Nenek
dari bapak.
6)
Saudara
perempuan sekandung.
7)
Saudara
perempuan sebapak saja.
8)
Saudara
perempuan seibu saja.
Dilihat dari arah hubungan nasab antara orang yang meninggal
dunia dengan orang yang berhak
memperoleh bagian harta peninggalan atau antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi,
maka ahli waris nasabiyah mennjadi tiga macam yaitu:
a) Furu’ul Mayit
Yang dimaksud yaitu anak keturunan orang yang meninggal dunia.
Hubungan nasab antara orang yang meninggal dunia dengan mereka itu adalah
hubungan nasab menurut garis keturunan lurus ke bawah (ahli waris terdekat)
Ahli waris yang termasuk dalam kelompok
ini adalah:
1) Anak Laki-laki
2) Anak Perempuan
3) Cucu Laki-Laki
4) Cucu Perempuan dari garis laki-laki
b) Ushulul Mayit
Yang dimaksud dengan ushulul mayit yaitu orang-orang yang
menyebabkan adanya lahirnya orang-orang yang meninggal dunia. Atau dapat
dikatakan pula yaitu orang-orang yang menurunkan orang yang meninggal dunia.
Hubungan nasab orang yang meninggal dunia dengan mereka itu (ahli waris)
hubungan nasab menurut garis keturunan lurus ke atas. Adapun yang termasuk
dalam Ushulul Mayit:
1) Ayah
2) Ibu
3) Kakek dari garis ayah
4) Nenek dari garis ibu
c) Al-Hawasyiy
Al-Hawasyiy ialah saudara, paman beserta anak mereka masing-masing.
Hubungan nasab antara orang yang meninggal dunia dengan mereka itu adalah
hubungan nasab ke arah menyamping. Adapun yang termasuk dalam ahli waris Al-Hawasyiy adalah:
1) Saudara Laki-Laki yang sekandung
2) Saudara Perempuan yang sekandung
3) Saudara Laki-Laki seayah
4) Saudara Perempuan yang seayah
5) Saudara Laki-Laki seibu
6) Saudara Perempuan seibu
7) Anak Laki-Laki dari saudara laki-laki sekandung
8) Anak Laki-Laki dari saudara laki-laki yang seayah
9) Paman sekandung
10) Paman sebapak
11) Anak laki-laki dari paman sekandung
12) Anak laki-laki dari paman seayah
K.
Ahli
Waris Sababiyah
Ahli waris
sababiyah adalah ahli waris yang hubungan kewarisannya timbul karena
sebab-sebab tetentu, yaitu:
1. Sebab perkawinan.
2. Sebab memerdekakan hamba sahaya.
Sebagai ahli waris sababiyah, mereka dapat menerima bagian warisan
apabila perkawinan suami isteri tersebut sah, baik menurut ketentuan hukum agama
dan memiliki bukti-bukti yuridis artinya perkawinan mereka dicatat menurut
hukum yang berlaku. Demikian juga memerdekakan hamba sahaya hendaknya dapat
dibuktikan menurut hukum Jadi, dalam pembagian ahli waris sababiyah yang
menerima warisan adalah suami, istri, laki-laki yang memerdekakan si mayit dari
perbudakan dan perempuan yang memerdekakan si mayit dari perbudakan. Kedudukan
mereka sebagai ahli waris ditetapkan oleh firman Allah QS. An-nisa’ ayat 12 : “Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu
itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allahmenetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun.”
L.
Al-Furudl
al-Muqaddarah dan Macam-macamnya
Kata al-furudl adalah jamak dari kata al-fardl, artinya bagian atau
ketentuan. Al-Muqaddarah artinya ditentukan besar kecilnya. Jadi, al-furudl
al-muqaddarah maksudnya adalah bagian-bagian yang telah ditentukan besar
kecilnya di dalam Al-Qur’an. Bagian-bagian tersebut itulah yang akan diterima
oleh ahli waris menurut jauh dekatnya
hubungan kekerabatan.
Adapun macam-macam al-furudl al-muqaddarah yang diatur secara rinci
dalam Al-Qur’an ada enam, yaitu:
1. Setengah / separoh (1/2 = al-nisf)
2. Sepertiga (1/3 = al-tsuluts)
3. Seperempat (1/4 = al-rubu’)
4. Seperenam (1/6 = al-sudus)
5. Seperdelapan (1/8 = al-tsumun)
6. Dua pertiga (2/3 = al-tsulutsain)
Dasar hukum dari al-furudl al-muqaddarah tersebut adalah QS An-Nisa’
ayat 11-12. Ketentuan tersebut pada dasarnya wajib dilaksanakan, kecuali pada
kasus-kasus tertentu, karena ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan
secara konsisten. Misalnya apabila di dalam pembagian warisan terjadi
kekurangan harta, maka cara penyelesaiannya adalah masing-masing bagian warisan
yang diterima dikurangi secara proporsional, yang secara teknis ditempuh dengan
menaikkan angka asal masalah. Masalah ini disebut dengan masalah ‘aul. Demikian
juga apabila terjadi kelebihan harta, maka kelebihanharta tersebut pada
prinsipnya dikembalikan kepada ahli waris secara proporsional. Masalah ini disebut
dengan masalah radd, yang secara teknis diselesaikan dengan menurunkan angka
asal masalah dengan jumlah yang diteriman ahli waris.
M.
Ahli
Waris Ashab al-Furudl dan Hak-haknya
Yang dimaksud dengan ahli waris Ashab al-Furud yaitu ahli waris
yang ditetapkan oleh syara’ memperoleh bagian tertentu dari al-furudl
al-muqaddarah dalam pembagian harta peninggalan.
Adapun bagian-bagian yang diterima oleh ashab al-furudl adalah
sebagai berikut:
1.
Anak perempuan, berhak menerima bagian:
a.
1/2 jika seorang, tidak bersama anak laki-laki.
b.
2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama dengan anak laki-laki.
2.
Cucu perempuan garis laki-laki, berhak menerima bagian:
a. 1/2 jika seorang, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak
terhalang (mahjub).
b. 2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama cucu laki-laki dan
mahjub
c. 1/6 sebagai penyempurna 2/3 (takmilah li al-tsulutsain), jika
bersama seorang anak perempuan, tidak ada cucu laki-laki dan tidak mahjub. Jika
anak perempuan dua orang atau lebih maka ia tidak mendapat bagian.
3.
Ibu, berhak menerima bagian:
a. 1/3 jika tidak ada anak atau cucu (far’u warits) atau saudara
dua orang atau lebih.
b. 1/6 jika ada far’u warits atau bersama dua orang saudara atau
lebih.
c. 1/3 sisa, dalam masalah gharrawain, yaitu apabila ahli waris
yang ada tediri dari: suami/istri, ibu, dan bapak.
4.
Bapak, berhak menerima bagian:
a. 1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki.
b. 1/6 + sisa, jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan
garis laki-laki.
Jika bersama ibu, maka: a. Masing-masing menerima 1/6 jika ada
anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih. b. 1/3 untuk ibu, bapak menerima
sisanya, jika tidak ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih. c. 1/3
sisa untuk ibu, dan bapak sisanya setelah diambil untuk ahli waris suami atau
istri.
5.
Nenek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
a. 1/6 jika seorang.
b. 1/6 dibagi rata apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat
kedudukannya.
6.
Kakek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
a. 1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki garis
laki-laki.
b. 1/6 + sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan garis
laki-laki tanpa ada anak laki-laki.
c. 1/6 atau muqasamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau
seayah, setelah diambil untuk ahli waris lain. d. 1/3 atau bagi rata bersama
saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada ahli waris lain.
7.
Saudara perempuan sekandung, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
a.
1/2 jika seorang, tidak bersama saudara laki-laki sekandung.
b.
2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung.
8.
Sudara perempuan seayah, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
a.
1/2 jika seorang dan tidak bersama saudara laki-laki seayah.
b.
2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki-laki seayah.
c.
1/6 jika besama dengan saudara perempuan sekandung seorang.
9. Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan kedudukannya sama.
Apabila tidak mahjub, berhak menerima bagian:
a. 1/6 jika seorang.
b. 1/3 jika dua orang atau lebih.
c. Bergabung menerima bagian 1/3 dengan saudara sekandung.
10.
Suami berhak menerima bagian:
a. 1/2 jika istri yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu.
b. 1/4 jika istri yang meninggal mempunyai anak atau cucu.
11.
Istri, berhak menerima bagian:
a. 1/4 jika
suami yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu.
b. 1/8 jika
suami yang meninggal mempunyai anak atau cucu.
Jika seluruh ahli waris tersebut di atas ada semua, maka tidak
semuanya menerima bagian. Karena ahli waris yang dekat hubungan kekerabatan,
menghijab ahli waris yang jauh. Maka, ahli waris yang dapat menerima bagian
adalah:
a)
Anak
perempuan 1/2
b)
Cucu
perempuan garis laki-laki 1/6
c)
Ibu
1/6
d)
Bapak
1/6 + sisa
e)
Istri
atau suami 1/8 atau 1/4
Apabila ahli waris laki-laki dan perempuan seluruhnya berkumpul,
maka ahli waris yang mendapat bagian adalah:
a)
Anak
perempuan Bersama-sama menerima sisa
b)
Anak
laki-laki
c)
Ibu
1/6
d)
Bapak
1/6
e)
Suami
1/4 atau istri 1/8
N.
Ahli
Waris Ashabah dan Macam-macamnya
‘Ashabah adalah
bentuk jama’ dari kata “aashib” yakni ahli waris yang mendapat harta warisan
dengan bagian yang tidak ditentukan karena mendapatkan bagian sisa setelah
diberikan kepada ahli waris ashab al-furudl. Sebagai ahli waris penerima bagian
sisa, ahli waris ‘ashabah terkadang manerima bagian banyak (seluruh harta
warisan), terkadang menerima bagian sedikit, tetapi terkadang tidak manerima
sama sekali, karena telah habis diberikan kepada ahil waris.Di dalam pembagian
sisa harta warisan yang memiliki hubungankekerabatan yang berdekatlah yang
lebih dahulu menerimanya. Konsekuensi cara pembagian warisan ini, maka ahli
‘ashabah yang peringkat kekerabatannya berada di bawahnya, tidak mendapatkan
bagian.
Adapun
macam-macam ahli waris ‘ashabah ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:
1. ‘ashabah bi
nafsih, yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sediri berhak menerima
bagian ‘ashabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah
(orang perempuan yang memerdekan hamba sahaya) yaitu:
a)
Bapak
b)
Kakek
c)
Anak
Laki-Laki Bapak
d)
Cucu
Laki-Laki dari garis laki-laki
e)
Saudara
laki-laki sekandung
f)
Saudara
laki-laki seayah
g)
anak
laki-laki saudara laki-laki sekandung
h)
Anak
laki-laki saudara laki-laki seayah
i)
paman
sekandung
j)
paman
seayah
k)
Anak
laki-laki paman sekandung
l)
Anak
laki-laki paman seayah
m)
Mu’tiq
dan atau Mu’tiqah (orang laki-laki atau perempuan yang memerdekakan hamba
sahaya)
2. ‘ashabah bi al-ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa
karena bersama-sama dengan
ahli waris lain yang telah menerima bagian sisa. Apabila ahli waris penerima
sisa tidak ada, maka ia tetap menerima bagian tertentu (al-furudl al-muqaddarah). Ahli waris penerima ‘ashabah bi al-ghair adalah:
a)
Anak
perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki
b)
Cucu
perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki
c)
saudara
perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung
d)
Saudara
perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah.
3. ‘ashabah ma’a al-ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian
sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak menerima bagian
sisa. Apabila ahli waris lain tidak ada, maka ia menerima bagian tetentu
(al-furudl al-muqaddarah).
Ahli waris yang menerima bagian ‘ashabah ma’a
al-ghair:
a)
Saudara
perempuan kandung yang keberadaannya bersama dengan anak perempuan atau cucu
perempuan dari anak lak-laki. Misalnya seseorang meninggal ahli warisnya
terdiri dari seorang anak perempuan, saudara permpuan sekandung dan ibu. Maka
begian masing-masing adalah:
a)1) Anak perempuan 1/2
2)
Saudara perempuan sekandung ‘ashabah
3)
Ibu 1/6
b)
Saudara
perempuan seayah yang keberadaannya bersama dengan anak perempuan atau cucu
perempuan dari anak laki-laki. Misalnya, seseorang meninggal ahliwarisnya
terdiri dari: seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan garis laki-laki,
dan dua orang saudara perempuan seayah. Maka bagian masing-masing:
1)
Anak
perempuan 1/2
2)
Cucu
perempuan garis laki-laki 1/6
3)
Dua
saudara perempuan seayah
O.
Ahli
Waris Dzawi al-Arham
Secara umum, Dzawil Arham berarti orang yang memiliki hubungan kekerabatan
(hubungan darah) dengan orang yang meninggal, baik tergolongashabil furudh(pemilik bagian pasti)
ataupun ‘ashabah, berdasarkan QS. Al-
anfal :75 : “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat
itusebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat)
didalam kitab Allah.”
Dalam ilmu Faraidh, Dzawil Arham adalah kerabat
(famili), baik laki-laki ataupun perempuan yang tidak memiliki bagian tertentu
dan ‘ashabah.
Ada tiga cara pembagian pewarisan dzawil arham,
yaitu:
1.
Cara Al-Rahm, Cara al-rahm
disebut juga dengan cara al-taswiyah. Kelompok ini mengatakan bahwa tirkah dibagikan kepada dzawil arham
secara merata, tidak membedakan antara kerabat yang dekat dengan yang jauh,
antara laki-laki dan perempuan, mereka memiliki hal yang sama.
2.
Cara Ahli Tanzil, Madzhab ini
menyebutkan bahwa dzawil arham dapat menduduki
posisi ahli waris asal (induknya), baik sebagai ashab al-furudh atau
ashabah bagaikan mereka masih hidup, kemudian warisan dibagikan kepada dzawil
arham (furu’) dengan ketentuan 2:1 (laki-laki dua kali lipat dari perempuan)
dan ketentuan warisan lainnya.
3.
Cara Ahlu al-Qarabah, Disebut Ahl
al-Qarabah sebab prinsip pembagian waris untuk dzawil arham ini berdasarkan
jihat (jalur) yang lebih dekat, yakni mereka mendahulukan pewaris pada orang
yang lebih dekat dan seterusnya sebagai qiyasan pada pewaris ‘ashabah.
Dzawil arham
dapat menerima bagian sebagai ahli waris pengganti atau karena tidak ada dzawil
furudh dan atau ashabah yang telah disebutkan diatas mereka adalah:
a)
Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan yang
berkedudukan sama denagn anak perempuan yakni apabila anak perempuan mendapat
1/2 maka ia juga mendapat 1/2 (separo).
b)
Anak (laki-laki atau perempuan ) dari cucu perempuan yang
berkedudukan sama dengan cucu perempuan.
c)
Kakek (ayah dari ibu) kedudukannya sama dengan ibu
d)
Nenek dari pihak kakek (ibu dari kakek yang tidak
menjadiahli waris seperti halnya nenek dari ibu) kedudukannya sama dengan ibu.
e)
Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung atau
sebapak. Kedudukannya sama dengan saudara laki-laki.
f)
Anak (laki-laki atau perempuan) dari saudara seibu.
Kedudukannya sama dengan saudara seibu.
g)
Anak (laki-laki atau perempuan) dari saudara perempuan
sekandung, seayah atau seibu. Kedudukannya sama dengan saudara perempuan
sekandung atau seayah.
h)
Bibi (saudara perempuan dari ayah) dan saudara perempuan
dari kakek. Kedudukannya sama dengan ayah.
i)
Paman yang seibu dengan ayah dan saudara laki-laki yang
seibu dengan kakek. Kedudukannya sama dengan ayah.
j)
Saudara (laki-laki atau perempuan) dari ibu. Kedudukannya
sama dengan ibu.
k)
Turunan dari rahim-rahim tersebut diatas.
Mereka
tersebut dapat menerima warisan dengan Syarat (a.)Sudah tidak ada asshab
al-furudh atau ‘ashabah sama sekali. Jika ada sisa warisan, maka di radd-kan
(dikembalikan) kepada ahli waris yang ada, tidak diberikan kepada dzawil
furudh, atau (b.) bersama dengan salah seorang suami-istri.
P.
Ahli
Waris Maula al-Mu’tiq
Yang dimaksud dengan ahli waris maulal mutiq ialah seseorang baik
laki-laki maupun perempuan yang menjadi ahli waris dari seseorang bekas hamba
karna ia yang memerdekakannya.
Seorang maulal mu’tiq mewarisi harta peninggalan bekas hamba yang
dimerdekakannya, apabila bekas hamba itu meninggal dunia tidak meninggalkan
ahli waris baik ashhabul furudh, ‘ashabah atau dzawil arham. Maulul mu’tiq mewarisi
harta peninggalan bekas hamba tersebut dengan cara ashabahbul furudh,
‘ashababah atau dzawil arham. Maulal mu’tiq mewarisi harta peninggalan bekas
hamba tersebut dngan cara ‘ashabah, yaitu ia mewarisi semua harta
peninggalannya. Jika maulal mu’tiq meninggal dunia ebih dahulu daripada bekas
hamba yang ia merdekakakn dan bekas hamba itu tidak mempunyai ahli warsi
ashhabul furudh, ‘ashabah atau dzawil arham, maka ahli waris ‘ashabah binafsih
maulal mu’tiq yang mewarisi.
Cara membagi pusaka dan permasalahannya. Dilihat dari segi
angka-angka pembagi masing-masing bagian yang ada, maka penentuan asal masalah
ada empat macam, sebagai berikut:
1. Yaitu apabila angka-angka pembagi pada
bagian-bagian yang ada dalam suatu kasus itu sedemikian rupa saling memasuki,
artinya angka pembagi yang kecil dapat dimasukkan ke dalam angka pembagi yang
besar, dengan kata lain angka pembagi yang besar dapat dibagi habis dengan
angka pembagi yang kecil.Contoh: Ahli waris terdiri dari tiga orang A, B dan C.
A menerima 1/3, B menerima 1/6 sedangkan C menerima ashabah.
2. Yaitu apabila angka-angka pembagi pada
bagian-bagian yang ada dalam suatu kasu itu sama besarnya, salah satu di antar
angka-angka pembagi pada bagian-bagian yang ada dalam suatu kasus itu sama
besarnya, maka cara menentukan asal masalah ialah dengan mengambil salah satu
di anatar angka-angka pembagi yang ada.Contoh: Ahli waris terdiri dari 3 orng
A, B dan C. A menerima 2/3, B menerima 1/3 dan C menerima ashabah.
3. Yaitu apabila angka-angka pembagi pada
bagian-bagian yang ada dalam suatu kasus itu berberda yang satu dengan yang
lain, angka pembagi yang satu tidak habis dibagi dengan angka pembagi yang lain
serta tidak mempunyai pembagi persekutuan diantara angka-angka pembagi yang
ada.Contoh: Ahli waris terdiri dari tiga orang A, B dan C. A menerima ½, B
menerima 1/3 dan C menerima ashabah.
4. Yaitu apabila angka-angka pembagi pada
bagian-bagian yang ada dalam suatu kasus itu berbeda antara yangsatu dengan
yang lain, tetapi angka-angka pembagi tersebut mempunyai pembagi
persekutuan.Contoh: Ahli waris terdiri daritiga orang A, B dan c. A menerima
1/6, menerima 1/8 sedangkan C menerima ashabah.
Q.
Ahli
Waris Yang Terhijab
Hijab secara harfiah berarti satir, penutup atau penghalang.
Dalam fiqh mawaris, istilah ini digunakan untuk menjelaskan ahli waris yang
hubungan kekerabatannya jauh, yang kadang-kadang atau seterusna terhalang
hak-hak kewarisanya oleh ahli waris yang lebih dekat. Ahli waris yang
terhalangi disebut hajib, sedangkan ahli waris yang terhalang disebut
dengan mahjub. Keadaan yang terhalangi disebut hijab.
Hijab dilihat dari segi
akibatnya, hijab dibagi 2 macam:
1.
Hijab Nuqson, Hijab Nuqson yaitu menghalangi yang berakibat mengurangi bagian ahli
waris yang mahjub, seperti suami, yang seharusnya menerima bagian 1/2, karena
bersama anak baik laki-laki maupun perempuan, bagianya terkurangi menjadi 1/4.
Ibu yang sedianya menerima bagian 1/3, karena bersama dengan anak, atau saudara
2 orang atau lebih, terkurangi bagianya menjadi 1/6.
2.
Hijab Hirman, Hijab Hirman dalah hijab yang menghalangi
secara total. Akibatnya hak-hak waris ahli waris yang termahjub tertutup sama
sekali denga adanya ahli waris yang menghalangi. Misalnya, saudara perempuan
kandungyang semula berhak menerima bagian 1/2, tetapi karena bersama dengan
anak laki-laki, menjadi tertutup sama sekali atau tidak mendapat bagian.
Saudara seibu yang sedianya menerima bagian 1/6 karena bersama dengan anak
perempuan, menjadi tertutup sama sekali.
Fiqh Mawaris
Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A.
PT. RAJAGRAFINDO PERSADA
Fiqh Mawaris
Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A.
PT. RAJAGRAFINDO PERSADA
Komentar
Posting Komentar